Indonesia adalah Negara maritim terbesar di Dunia,
2/3 wilayah nya adalah lautan. Tak dapat dipungkiri bahwa Negara ini memiliki
jumlah penghasilan ikan terbanyak pula di dunia. Dengan jumlah ikan dan hewan
laut lainnya yang tak terhingga, sudah barang penting bahwa Perekonomian
Indonesia pun akan meningkat dengan banyaknya penghasilan yang di dapatkan dari
laut. Hal tersebut mengundang banyak masyarakat di pesisir pantai untuk
berinvestasi dengan mencari ikan dan hewan laut lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Menjadi nelayan adalah mata pencaharian yang di
gandrungi oleh masyarakat di pesisir pantai seperti di daerah jalur pantai
utara laut jawa (Pantura) yakni brebes, tegal, pemalang, pekalongan, batang dan
sebagainya.
Di negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara atau
di Afrika, masih banyak nelayan yang menggunakan peralatan yang
sederhana dalam menangkap ikan. Nelayan di negara-negara maju biasanya
menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi teknologi canggih. Dalam memburu ikan para
nelayan harus mematuhi pembatas wilayah antar negara dan tidak boleh menangkap
ikan di wilayah negara lain, begitu juga sebaliknya. Semua yang ada dalam negara diatur oleh Konstitusi yang berlaku, tentu juga masalah kelautan. Beberapa minggu yang lalu Menteri Kelautan dan
Perikanan memberi sebuah Kebijakan yang cukup Kontroversial bagi Para Nelayan yang dirasa sangat
merugikan nelayan.
Kebijakan atau penindasan?
Kebijakan yang
cukup kontroversi itu yakni Peraturan Menteri (Permen) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 2 Tahun 2015 mengenai Pelarangan Alat Tangkap
Cantrang
Dan KKP Nomor 1 Tahun 2015 mengenai
Larangan Penangkapan dan Ekspor Lobster, Kepiting, dan Rajungan Telur Serta Sistem zona laut yang tidak memperbolehkan nelayan memburu ikan di jarak 0-4 mil dari pesisir, karena wilayah itu akan dijadikan Wilayah Konservasi.
Selama ini Para Nelayan
menggunakan Jaring Pukat Harimau atau Cantrang untuk menangkap ikan. Hasil dari
penangkapan ikan dengan jaring itu terbilang cukup besar. Dalam hal ini memang
penggunaan Pukat Harimau sudah dilarang di ranah Internasional. Nelayan merasa
dirugikan oleh kebijakan yang diambil tersebut, mereka harus membeli jaring
lagi yang jauh lebih kecil dan penghasilan untuk mendapatkan ikan pun sangat
jauh lebih sedikit. Penerapan aturan tersebut juga dianggap telah menyebabkan banyak nelayan mengalami
pengangguran, dikarenakan tidak mendapatkan izin untuk berlayar.
Pelarangan
Penangkapan dan Ekspor Lobster, Kepiting dan Ranjungan Telur. Hal ini pun dirasa
sangat merugi bagi para nelayan. Karena mereka jika tidak berburu ikan tentunya
menangkap hewan laut lain untuk penghasilan. Menteri kelautan dan Perikanan beranggapan
bahwa jika lobster, kepiting dan ranjungan telur dibiarkan tetap hidup dan
tidak diburu, akan membawa efek perkembangbiakan yang lebih banyak untuk
lobster dan kepiting. Langkah tersebut diambil juga untuk Pelestarian Biota Laut
yang ada.
Sistem zona laut yang tidak memperbolehkan nelayan menangkap di jarak
0-4 mil
dari daratan karena wilayah itu adalah
wilayah yang akan dijadikan Konservasi. Menurut Direktur
Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP Sudirman Saad
pernah mengumumkan bahwa Instansinya
berencana membagi laut di Indonesia menjadi empat zona untuk pemanfaatan,
pertambangan, konservasi dan alur untuk pipa bawah laut. Daerah 0-4 mil laut
yang selama ini banyak dijadikan tempat nelayan kecil mencari ikan itulah yang
dijadikan sebagai Zona Konservasi. Zona 0-4 mil merupakan tempat hidupnya
berbagai hewan laut. Jika terlalu banyak aktivitas pencarian ikan di daerah
itu, maka kelangsungan hidup biota tersebut akan terancam. Hal tersebut membuat
para nelayan kecil tidak boleh memburu ikan di daerah sekitar 4 mil dari
pesisir dan harus mencari ikan sampai tengah lautan. Taruhan nyawa bagi para
nelayan yang ada, padahal kapal-kapal yang mereka miliki sangatlah kecil hanya 10 Gross Ton (GT) saja. Tanpa penerapan sistem zona laut pun
nelayan juga jarang melaut dan mendapat penghasilan karena cuaca buruk. Kebijakan yang diambil ini dirasa sangat
merugikan nelayan terutama di daerah pesisir wilayah laut jawa utara.
Nelayan Melawan
Setelah
kebijakan yang diambil oleh menteri susi dirasa sangat kontroversial dan
merugikan para nelayan maka gelombang demonstrasi pun terjadi dimana-mana. Sudah beberapa kali Menteri Susi di demo oleh para nelayan karena
kebijakannya yang dianggap menyengsarakan. Paling tidak, ada tiga kali
demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para nelayan tersebut. Di Jakarta para nelayan
berbondong-bondong dari berbagai aliansi berkumpul di depan gedung kementerian
kelautan dan perikanan untuk menuntut Menteri Susi mencabut Peraturan Menteri
yang telah ditetapkan.
Di daerah jalur pantai utara Jawa yakni di Batang
Jawa Tengah, Unjuk Rasa
menolak Peraturan Menteri yang
dikeluarkan tersebut Ricuh, Ribuan nelayan dari berbagai wilayah Batang nekat memblokir jalur utama Pantai
Utara (Pantura) Jawa Tengah.
Polisi yang mencoba menjaga keamanan di daerah tersebut kewalahan dalam meredam
aksi para Nelayan karena kalah Jumlah. Berdasarkan informasi yang
diterima dari National Traffic Management Center (NTMC) Korlantas Mabes Polri, Ruas Pantura
Kabupaten Batang lumpuh dan tidak bisa dilalui karena ruas jalan diblokir massa
dengan berbagai blokade.
Bagi para nelayan, aturan yang dibuat ini memang arogan, karena sepihak dan tanpa melakukan
pembicaraan dengan nelayan. Kesatuan
Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan, seringnya nelayan mendemo
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lantaran pemerintah telah
menyampingkan nelayan dalam membuat suatu kebijakan baru. Nelayan mengklaim, jika ini terus dilakukan pasti akan
terus terjadi pembangkangan. Oleh karena itu, Menteri Susi diminta melibatkan masyarakat dalam membuat
kebijakan.
Beliau dianggap seenaknya sendiri dalam menerapkan peraturan tanpa sosialisasi dengan
para nelayan. Pasalnya, para perajin tersebut tidak memiliki modal yang cukup
untuk mengganti alat mereka, ditambah pemerintah juga tidak memberikan solusi
lainnya.
Para nelayan di Jatim bahkan meminta Presiden mencopot jabatan Menteri Susi
sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Pemerintah
harus lebih memperhatikan nasib para nelayan bukannya menelantarkan dan tidak
menganggap sama sekali serta tidak mendengarkan aspirasi. Pemerintah harus
bersosialisasi dan berkonsolidasi dengan nelayan sebelum membuat kebijakan.
0Awesome Comments!